Mungkin waktu itu saya saking gusarnya karena dikasih tugas
mengarang cerita oleh guru Bahasa Indonesia dan ternyata kesulitan mengurai isi
kepala saya ke dalam kata-kata menjadi kalimat yang baik sehingga asal saja mengetiknya.
Lalu waktu saya lihat huruf-huruf yang muncul di layar monitor, terbacalah oleh
saya kata itu di antara huruf-huruf lain yang tidak tersusun secara baik –apalagi
benar—menurut aturan fonologi (entah, apakah memang ada aturan tertentu
mengenai bagaimana sebaiknya huruf-huruf disusun menjadi kata atau tidak). Maka
saya pun tercenung, merenung-renung sendiri dan tak jadi membuat suatu karangan
pun.
Untung saja waktu itu saya tidak membawa kata itu ke depan
guru saya dan menumpukanya sebagai hasil kerja saya. Kalau iya, mungkin bisa
dimaki habis-habisan saya. Bisa dituduh mengada-adakan yang tak ada, lalu dicap
kenthir dan dimasukkan ke penjara
bernama prasangka sosial. Lebih baik mengaku tidak berhasil menyelesaikan tugas
saja. Paling-paling dimarahi sedikit, lalu dikasih tugas lagi.
Bagaimanapun, itu salah satu kemungkinan saja. Sejujurnya,
saya juga tidak begitu ingat bagaimana ceritanya sehingga saya tiba-tiba
mengetik acak seperti itu dan menemukan kata tanpa arti itu terselip di anatara
sekian banyak huruf yang bergerombol tak jelas.
[]
Bagaimanapun, kehidupan ini, bagiku –atau keberadaanku dalam
semesta bernama kehidupan ini—seperti kata itu. Tiba-tiba saja ada. Tak tahu
dari mana. Tak tahu mau ke mana. Tak tahu apa-apa. Semacam apa yang oleh para
eksistensialis disebut “terdampar” atau “terlempar” ke dalam panggung
kehidupan.
Maka kupelihara kata itu, mungkin untuk mengingatkanku pada diriku
sendiri yang terdampar di sudut sempit dalam ruang kecil pada semesta mahaluas
ini, Seandainya engkau –mungkin saja—bertanya apa arti kata itu, akupun
bertanya apa artinya aku pada kata itu. Seandainya engkau bertanya adakah makna
di balik kata itu, akupun bertanya adakah aku ini bermakna pada kata itu.
Seandainya segala sesuatu dalam kehidupan ini merupakan bagian-bagian
dari suatu kesatuan bentuk yang utuh, merupakan keping-keping puzzle yang
membentuk suatu gambaran yang bermakna, maka aku adalah suatu fragmen kecil
yang terpisah dan tak tahu pada bagian yang mana aku semestinya berada.
Begitulah, tak jarang aku merasa. Seperti kata itu di antara semua kata yang
telah ada dan sudah punya artinya masing-masing. Ia tak tahu harus menempatkan
diri di mana pada sebuah kalimat.
Maka, dulu, aku sempat mengajukan pertanyaan. Tidak kepada
siapa-siapa. Sekedar bertanya pada keheningan, dan tentu saja tidak berharap
mendengarkan jawaban yang gamblang. Adakah segala sesuatu mesti berarti? Apakah
setiap kata harus punya arti? Tak adakah keberadaan yang sekedar ada saja?
Lalu kuajak kata itu mencari maknanya. Bagiku ia terlihat
seperti anak ayam yang kehilangan induk. Mungkin, seperti nasihat Iroh kepada
Korra sewaktu ia tersesat di dunia ruh, aku bisa menemukan makna keberadaanku
dengan membantu kata itu menemukan artinya. Maka kami sama-sama berkelana
mencari induk segala makna untuk meminta petunjuk perihal diri kami masing-masing.
Ke manakah itu? Entah. Kami akan berkelana, mungkin di dunia
makna. Mengurai benang-benang merah makna yang menghubungkan segala sesuatu. Di
ujungnya, mungkin di situlah induk makna berada.
[]
Blog ini adalah semacam catatan perjalanan kami.