Pages - Menu

Mengapa Senja Tak Lagi Sama (?)


image: ytimg.com

Perjumpaan kita seperti perjumpaan dengan senja. Betapa indah, begitu menawan perasaan, demikian romantis, namun dengan segera mesti berlalu. Terhadap malam yang gelap kita pun mesti rela, sekedar berharap. Siapa tahu hari-hari esok masih menyimpan secercah kemungkinan, dalam simpang siur lintasan garis-garis kehidupan, kita akan kembali dipertemukan.


Sejak saat itu tiada senja berlalu tanpa sempat menghadirkan sekelebat rasa yang berdesir-desir. Seakan-akan terdapat pantai di hatiku di mana lautan tak henti-hentinya menghempaskan ombaknya yang berbuih ke atas pasir. Lalu timbul suara mendesis ketika pasir menyesap air laut, dan gelombang perlahan surut meninggaklan buih-buih. Lalu menghilang, buih-buih itu, ke dalam udara. Menjadi kabut tipis yang bila terbawa angin hingga ke lubang hidungmu akan kau ingat-ingat sebagai aroma lautan.

Kabut itu juga kah yang membiaskan sinar matahari menjadi kemerahan dan membuatnya seolah-olah bergetar? Mungkin cuma perasaanku saja.
Sebab aku terkenang engkau.


Aku tidak sedang benar-benar berada di tepi pantai. Aku hanya sekedar mereka-reka saja. Mencoba menggambarkan kenangan-kenangan tentang senja di bidang-bidang persegi langit-langit kamar yang sempit. Aku pun tak begitu yakin di luar sana sedang berlangsung pementasan senja, karena aku tak tahu waktu. Pun entah aku sedang bermimpi atau sadar, tertidur atau terjaga. Aku lupa apa bedanya semua itu.

Aku mungkin sekedar sedang termenung memandangi telaga kenanganku. Bagaimana lagi aku bisa bertemu denganmu selain dengan begitu. Bagaimana lagi aku bisa menyaksikan senja yang indah selain dengan cara itu.


Sejak kepergianmu dengan kereta senja itu, senja di kota ini tak lagi sama. Mulanya kupikir itu karena mendung yang menggantung di langit sepanjang hari, namun setelah beberapa hari berlalu aku semakin menyadari bahwa memang ada yang berubah dengan senja. Semakin hari semakin aku menyadarinya, namun tak pernah bisa aku memahaminya.

Tiada yang benar-benar berubah pada senja-senja itu, namun selalu terasa tak sama lagi. Kuhabiskan setiap penghujung hari dengan mengamat-amati senja bergulir di tepian cakrawala, mencari tahu apa yang berbeda padanya, namun tak kudapatkan suatu kesimpulan yang pasti. Kulihat orang-orang pun sepertinya tak ada yang bermasalah dengan senja seperti aku ini. Mereka tetap laju memacu kendaraannya di jalan-jalan raya yang padat. Selokan-selokan dan sungai-sungai tetap mengalir membawa air beraroma sabun bercampur kencing dan sampah. Kehidupan sepertinya tetap berjalan sebagaimana biasa. Kecuali hidupku.


(bersambung...)

Jogjakarta, 8 juni | 10 juli 2016